Banyak hal perlu dipersiapkan
menjelang dua bulan ”target” pelaksanaan Kurikulum 2013, pada Juli mendatang.
Pengetahuan guru terhadap perubahan kurikulum masih di permukaan, pemahaman
teknis pengajaran masih kedodoran. Tanpa persiapan memadai, perubahan struktur
kurikulum potensial menimbulkan kekacauan manajemen di sekolah.
Survei Kompas mengenai Guru dan
Kualitas Pendidikan Nasional 2013 memperlihatkan bahwa para guru SD-SMP belum
memiliki pemahaman memadai tentang Kurikulum 2013. Dari tiap 10 responden,
tujuh di antaranya belum mengetahui isi Kurikulum 2013. Tiga responden lain
mengaku sudah tahu, tetapi hanya garis besarnya. Dari delapan kota lokasi
survei, Kota Kupang, NTT, merupakan wilayah dengan tingkat pemahaman kurikulum
paling rendah.
Pengetahuan guru yang masih
sebatas kulit luar terlihat setidaknya dari tiga aspek. Dalam aspek konseptual,
lebih dari separuh responden guru belum mengetahui perbedaan muatan isi antara
Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006.
Buta konsep ini merembet pada
lemahnya perencanaan. Hampir separuh guru mengaku tidak paham teknis
menjabarkan materi Kurikulum 2013 ke dalam rencana pelaksanaan pendidikan
(RPP).
Pada akhirnya, pada tataran
operasional hampir separuh guru mengaku bingung bagaimana teknis pengajaran
pada kurikulum baru, khususnya cara mengajar dengan pendekatan
tematik-integratif. Sejumlah pertanyaan mengemuka seperti bagaimana cara
mengajar materi IPA, IPS, dan bahasa Indonesia dalam waktu yang bersamaan,
bagaimana pembagian porsi jam mengajar untuk ketiga materi, dan guru bidang apa
yang akan mengampu mata pelajaran integratif itu.
Faktor usia dan ”jam terbang”
guru berbanding terbalik dengan tingkat pengetahuan guru terhadap Kurikulum
2013. Makin lama masa kerja guru, maka tingkat pengetahuan terhadap kurikulum
baru justru makin rendah. Kelompok guru senior, dengan masa mengajar di atas 24
tahun, hanya 22 persen yang paham isi Kurikulum 2013. Sebaliknya, kelompok guru
muda dengan masa kerja di bawah delapan tahun memiliki proporsi pemahaman lebih
tinggi, yaitu 41 persen.
Orientasi nilai yang dianut guru
juga memengaruhi tingkat pengetahuan terhadap kurikulum. Guru berpikiran
moderat cenderung memiliki tingkat pengetahuan lebih baik (35 persen)
dibandingkan dengan guru konservatif (31 persen). Ada lebih dari separuh
proporsi guru (57,5 persen) dalam survei ini berpola moderat. Guru dalam
kategori ini antara lain meyakini kualitas pendidikan ditentukan praktik
pendidikan dialogis antara guru dan murid, sementara faktor biaya dan
sertifikasi guru bukanlah hal utama. Guru moderat terutama berada dalam rentang
usia 36-43 tahun, sementara guru konservatif rata-rata berusia 44-50 tahun.
Wacana media
Rendahnya tingkat pengetahuan
guru terhadap Kurikulum 2013 tidak terlepas dari minimnya sosialisasi resmi
dari pemerintah. Sejak pemerintah menggulirkan uji publik perubahan kurikulum
sekitar November 2012, gereget sosialisasi tampak kedodoran. Survei
menunjukkan, sosialisasi terhadap guru dilakukan rata-rata satu kali dan
cenderung menyasar SD-SMP berakreditasi A dan B di kota-kota utama. Baru dua
dari tiap 10 guru mendapat sosialisasi, itu pun dinilai tidak memberikan
pemahaman memadai.
Sejauh ini, pemerintah baru
menyatakan akan melakukan pelatihan massal bagi guru inti dan instruktur
nasional pada Mei ini. Sekitar 46.000 guru inti akan dilatih menjadi ujung
tombak sosialisasi dilanjutkan dengan pelatihan massal untuk 713.000 guru.
Selain itu, pemerintah akan mencetak buku panduan pelaksanaan Kurikulum 2013
bagi guru dan murid. Distribusinya direncanakan sebelum tahun ajaran baru
2013/2014 dimulai.
Minimnya panduan dan sosialisasi
formal menyebabkan media massa yang justru banyak mengambil alih wacana
perubahan kurikulum dalam beberapa bulan terakhir. Surat kabar (31,8 persen),
televisi (27,5 persen), dan internet (15,8 persen) merupakan sumber informasi
utama bagi para guru. Kemudian disusul institusi formal seperti kepala sekolah
(10,4 persen) dan kolega guru (7,4 persen). Akibatnya, pengetahuan umum para
guru terhadap Kurikulum 2013 bersifat setengah-setengah dan cenderung
terombang-ambing wacana.
Dampak penerapan kurikulum baru
terhadap institusi sekolah juga dikhawatirkan guru. Terkait kondisi dan status
sekolah, perubahan struktur kurikulum potensial menimbulkan persoalan bagi
SD-SMP negeri (50,2 persen) dibandingkan dengan sekolah swasta (46,2 persen).
Hal ini karena jumlah guru
bersertifikasi cenderung lebih banyak di sekolah negeri. Tujuh dari setiap 10
guru SD-SMP negeri sudah memiliki sertifikasi guru, sementara hanya lima dari
tiap 10 guru di sekolah swasta yang memiliki sertifikasi. Pengurangan jam
pelajaran menyebabkan guru bersertifikasi sulit memenuhi syarat minimal jam
mengajar per minggu.
Implikasi
Ambiguitas antara keyakinan
sekaligus kekhawatiran mewarnai opini umum dan sikap guru terhadap implikasi
perubahan kurikulum. Pada tataran idealisme, secara umum guru optimistis bahwa
Kurikulum 2013 akan meningkatkan kompetensi lulusan peserta didik dari aspek
spiritual, intelektual, dan mental. Namun, tataran operasional tampak lebih
problematis. Sebagian besar guru (64,8 persen) menganggap bahwa Kurikulum 2013
tidak berbeda dengan Kurikulum 2006 yang bermuatan padat sehingga dikhawatirkan
memberatkan anak didik.
Pendekatan tematik integratif
juga menjadi sorotan. Separuh bagian guru (51,6 persen) khawatir integrasi
materi IPA dan IPS ke dalam Bahasa Indonesia akan melemahkan nilai nasionalisme
dan jati diri kebangsaan anak didik. Sekitar separuh guru juga mengkhawatirkan
hal itu akan melemahkan kemampuan kognitif siswa atas pelajaran IPA dan IPS
(56,1 persen) di satu sisi dan pemahaman tata bahasa (49,8 persen) di sisi
lain. Merujuk pada pengamat pendidikan M Abduhzen, integrasi pelajaran IPA,
IPS, dan Bahasa Indonesia, potensial menimbulkan kerancuan berpikir peserta
didik (Kompas, 12/12/2012).
Pro-kontra yang mewarnai
perubahan kurikulum menunjukkan bahwa kebijakan ini belum sepenuhnya siap
dilaksanakan. Kesan sebagai kebijakan yang tergesa dan dipaksakan sulit ditepis.
Sudah sepatutnya strategi penerapan Kurikulum 2013 dikaji ulang dengan strategi
sosialisasi dan pelatihan yang memadai, demi menghindari Kurikulum 2013 menjadi
pepesan kosong.
Sumber : http://edukasi.kompas.com
0 komentar:
Post a Comment